Hukum Syara' dan hukum Taklifi

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu fiqh / ushul fiqh adalah ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara mengistimbatkan hukum. Sekalipun ilmu fiqh/ ushul fiqh ini muncul setelah fiqh, tetapi secara teknisnya sebelum fiqh itu ada terlebih dahulu ulama menggunakan ushul fiqhnya. Ilmu fiqh adalah ilmu yang mengantarkan kepada pemahaman masalah-masalah fiqh, ilmu fiqh ini sering dikenal dengan ushul fiqh yaitu dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang dijadikan patokan untuk memahami fiqh. Yakni memahami hukum-hukum yang telah tetap dalam fiqh. Sehingga sebelum orang memahami fiqh hendaknya dia memahami ushul fiqh.

Orang yang faham fiqh tanpa faham ushul fiqh seperti orang yang membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu sharaf dalam bahasa arab. Jadi ilmu ushul fiqh itu sangatlah penting.

Maka kami dari kelompok petama akan mencoba menjelaskan tentang hukum syara’ dan hukum taklifi yang hukum-hukum ini merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh.







BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’

Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Seperti firman Allah :

أوفوا بالعقود “penuhilah janji”

Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan melaksanakan.Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan, pilihan, atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.

Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Jadi firman Allah أوفوا بالعقود (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.

Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.

Disini kami akan mencoba menjelaskan hukum taklifi saja sedangkan hukum wadh’i akan dibahas oleh kelompok berikutnya.


B. Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut pada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.

Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :

خذ مِن أموالهم صدقة (التوبة : 103)

“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (Q.S. At-Taubah : 103).

Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :

لا يسخر قوم من قوم (الحجرات : 11)

“ Janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain” (Q.S. Al-Hujurat:11).

Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman Allah SWT :

وإذا حللتم فاصطادوا (الماءدة : 2)

“ Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu” (Q.S. Al-Maidah : 2).



C. Pembagian Hukum Taklifi

Hukum taklifi terbagi kedalam lima bagian, yaitu :

1. Wajib

وهو يثاب على فعله ويعاقب على تركه

Yaitu khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, sehingga orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat pahala dan menunggalkannya mendapat dosa atau siksa. Seperti kewajiban shalat. Firman Allah SWT :

فأقيمواالصلاة إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النساء : 103)

“.....maka dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nisa : 103).

Jumhur Fuqaha menyamakan antara wajib dan fardhu, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan kedua istilah ini. Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu berdasarkan dalil-dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Mutawatir, maka dinamai fardhu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil zhanni, yakni hadits-hadits ahad, maka disebut wajib.

2. Mandub atau Sunah

وهو يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه

Yaitu khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Sehingga orang yang melakukan nadb akan mendapat pahala dan meninggalkannya tidak mendapat dosa.

Contohnya firman Allah SWT :

ياآيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فأكتبوه .......(البقرة : 282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu hutang sampai waktu yang ditentukkan hendaklah kamu menulisnya.....” (Q.S. Al-Baqarah : 282).

Menulis dan mencatat hutang itu tidaklah wajib, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan dengan fi’il amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung arti wajib, dikarenakan pada perintah tersebut didapatkan suatu qarinah yang menunjuk pada ketidakwajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni firman Allah SWT :

فإن أمن بعضكم بعضا فليؤدّ الذي اؤتمن أمنته (البقرة : 283)

“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.....” (Q.S. Al-Baqarah : 283).


3. Haram

وهو يثاب على تركه ويعاقب على فعله

Yaitu khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.

Contohnya firman Allah SWT :

قل تعالوا أتل ما حرّم ربّكم عليكم ألاّ تشركوا به شيئا (الانعام : 151)

“Katakanlah :”Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia...” (Q.S.Al-An’am : 151).

4. Makruh

وهو يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله

Yaitu khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Sehingga orang yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.

Contohnya firman Allah SWT :

ياآيها الذين أمنوا لا تسئلوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم (المائدة : 101)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu...” (Q.S.Al-Maidah : 101).

Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Firman Allah SWT :

فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون (النحل :43)

“Tanyakanlah kepada para ahli jika kamu tidak mengerti” (Q.S.An-Nahl : 43).

5. Mubah

وهو لا يثاب و لا يعاقب على فعله او تركه

Yaitu khitab syar’i yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sehingga orang yang melaksanakannya maupun yang meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa.

Contohnya firman Allah SWT :

فمن اضطرّ غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه (البقرة : 173)

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (Q.S.Al-Baqarah : 173).

D. Hukum-hukum menurut Fuqoha

1. Wajib

Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi, yaitu:

a. Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib muthlaq dan wajib al-mu’aqqot.

Wajib muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.

Adapun wajib al-mu’aqqot adalah kewajiban yang harus dlaksanakan orang mukallaf pad waktu-waktu tertentu seperti puasa romadhon.

Wajb al-mu’qqot terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu:

1) Wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang ditentukan waktunya tatapi waktunya ini cukup lapang sehingga dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis misalnya waktu-waktu yang ditentukan untuk melakukan shalat. Jadi ketika seorang mukallaf melakukan shalat dzuhur , ia juga bisa melakukan shalat sunnah.

2) Wajib mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukan pada suatu amalan dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain. Seperti puasa ramadhan.

3) Wajib zhu asy-syibhain, yaitu kewajiban yang mempuanyai waktu yang lapang tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali tetapi yang di perhitungkan syara’ hanya satu amalan saja.

b. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan hukum wajib terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Wajib al-muhaddad, adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu, misalnya jumlah harta yang wajib dizkatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.

2) Wajib ghairu al-muhaddad, adalah kewajiban yang tidak ditantukan syara’ ukuran dan jumlahnya tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Misalnya penentuan hukuman dalam jarimah ta’zir (tindak pidana diluar hudud dan qishos) yang diserahkan kepada para qodhi atau hakim.

c. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban. Hukum wajib dibagi pada wajib al-‘aini dan wajib al-kifa’i.

1) Wajib al-‘aini, adalah kewajiban yang ditujukan pada setiap peribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiba shlat.

2) Wajib al-kifa’i, adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian daro mereka maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakanya. Misalnya pelaksanaan shlat jenazah.

d. Dilihat dari segi kandungan perintah, para ulama usul fiqh membagi wajib kepada dua bagian. Yaitu:

1) Wajib al-mu’ayyan, adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa dan harga barang dalam jual beli.

2) Wajib al-mukhayyar, adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surah al-maidah:89 mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.

2. Mandhub

Para ulama ushul fiqh membagi mandhunb menjadi tiga macam. Yaitu:

a. Sunnah al-muaqqadah, yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mandapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Misalnya shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat lima waktu (rawatib).

b. Sunnah ghairu al-muaqqadah. Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mandapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat celaan dari syar’i. Misalnya bersedakah, shalat dhuha dan puasa pada hari senin dan kamis.

c. Sunnah al-zaidah. Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan rasulullah SAW. Sehingga apabila dikerjakan mendapan pahala, jika ditinggalkan tidak mendapat dosa dan tidak mendapat celaan. Amalan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah sebagai manusia biasa. Seperti cara tidur, cara makan atau cara berpakaian.

3. Haram

Haram terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a. Haram Lidzatih yang mempunyai arti sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keharaman melakukannya sejak semula dikarenakan ia mengandung kemafsadatan dan kemudharatan.

b. Haram Lighairih yang mempunyai arti sesuatu yang tidak ditetapkan oleh syar’i keharamannya akan tetapi ada sesuatu yang menyebabkan keharamannya. Seperti shalat dengan pakaian acak-acakan, jual beli dengan menipu, mentalak istri di waktu haid.

4. Makruh

Ulama hanafiyyah membagi makruh kedalam dua bentuk. Yaitu:

a. Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i unutk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan daging kuda.

b. Makruh takhrim, yaitu tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti tetapi didasarkan kepada dalail yang zhanni. Seperti larangan memakai sutra dan perhiasan emas bagi kaum laki-laki.

5. Mubah

Imam abi ishaq asyyathibi mengemukakan pembagian mubah dari segi setatusnya yang bersifat juz’i dan kulli.

a. Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat ar-rujub. Yaitu hukum mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib apabila dilihat dari keseluruhan atau kepantingan ummat secara keseluruhan. Misalnya makan, minum dan berpakaian.

b. Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat al-mandub. Yaitu hukum mubah secara juz’i berubah menjadi mandub apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya dalam masalah makan dan minum melebihi kebutuhan.

c. Mubah bi al-juz’i al-muharromah bi al-kulli. Artinya mubah yang secara juz’i bisa diharamkan apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya mencela anak dan senantiasa makan dengan makanan yang lezat-lezat.

d. Mubah bi al-juz’i al-makruh bi al-kulli. Artinya hukum mubah bsa berubah menjadi makruh apabla dilihat dari akibat negatif perbuatan itu secara kulli. Seperti bernyanyi.


BAB III

KESIMPULAN

Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan. Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut pada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.

Hukum taklifi terbagi kedalam lima bagian, yaitu :

1. Wajib
2. Mandub atau Sunah
3. Haram
4. Makruh
5. Mubah

DAFTAR PUSTAKA

v Hasbiyallah. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV.Insan Mandiri

v Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani

v Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia

free7 network twitter technorati

0 comments:

Posting Komentar

Area Populer

 
Blog Indonesia