(KAIDAH USHULIYAH)
METODE
ISTINBAT DARI SEGI BAHASA
A.
Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah
Pengertian qaidah
secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya
(pokoknya). Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat
menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul
fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan
demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk
menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah
itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi
sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu)
itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum
Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah
fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada
suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
v Yang dipandang
dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab Khusus (latar
belakang kejadian)
v Apabila dalil
yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan Dalil yang
melarang.
v Makna implicit
tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.
v Lafazh nakirah
dalam kalimat negatif(nafi) mengandung pengertian umum.
v Petunjuk nash
didahulukan daripada petunjuk zahir.
v Petunjuk
perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 5/1
(memenuhi janji adalah wajib).
v Tidak dibenarkan
berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
v Dalalah lafazh
mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyad.
v Perintah
terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
B.
Pengertian Istinbath
·
Menurut bahasa adalah mengeluarkan atau menetapkan, sebagaimana
dalam ungkapan استخراج
الماء من العين
·
Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari
nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau
potensi naluriyah.
Dari
nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lughawiyah)
yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak
berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah. Dalam pembahasan
berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.
1.
Istinbath Lafdzi
Yaitu
mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya.
Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan
ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah
diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab.
Ada tiga cara
untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:
1)
Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah
terkenal serta telah menjadi kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan
sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu
al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).
2)
Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui
oleh kelompok lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah.
yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-khasshah.
3)
Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.
Namun
demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu
berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang
ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakainnya di
kalangan masyarakat.
C.
Macam-macam Istinbath Lafdzi:
1. Khash
Dalam
mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda
pendapat. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang
sama.
v Hukum
Lafadz Khash.
Suatu
lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i
bukan dhanny,
selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh karena itu,
apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk
mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum
secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu
dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib
bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil
yang memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu
dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah
atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.
Contoh
lafadz khas adalah Surat al-Maidah ayat 89
...................................................................
2.
’Amm
Lafadz
’Amm
adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam
pengertian ’amm
tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular
(tunggal). Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut
ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang
dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”
v Hukum
berhujjah dengan ’Amm:
Jumhur
Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh
satuannya secar dzanniyah, karena apa yang
terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang
dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena
itu dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :
”tidak ada
satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).” Jadi, tidak
diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum. Karena
itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya
atau tidak.[4]
3.
Amr (perintah)
Definisi
amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
v Bentuk
Amr dan hakikatnya
Menurut
Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib
dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah.
Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum
mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i. Golongan kedua,
yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan
Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb
(Sunnah). Golongan ketiga berpendapat bahwa amr
itu musytarak
antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh
Abu Mansur Al-Maturidi. Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali,
dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada
dalil yang menunujukan maksudnya.
Ø
Perintah sesudah larangan
Ada
perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi.
Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan
walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur
dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi
adalah ibahah
(Kebolehan).
Ø
Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz
amr
baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan
apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang
cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah
(argumen) lain.
4.
Nahi (larangan)
Definisi
nahi
adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
v Makna
Sighat Nahi :
a.
Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim,
seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”.
(al-Isra’: 32)
Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).
Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).
b.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan
pada karahah
saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah
(perbuatan yang dibenci).
Alasan
mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti
harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah
yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah
boleh dikerjakan.
Tidak di anjurkan dijadikan referensi, ini hanya sebagai pengetahuan untuk di baca saja, jika untuk makalah, silahkan beli buku, karena buku adalah referensi yang tepat untuk karya ilmiah.
0 comments:
Posting Komentar