Sejarah turun dan penulisan Al-quran

Banyak sekali berbagai pendapat mengenai Alquran baik dari pengertian, perkembangan serta penulisan Al-Quran. Selain itu juga, masih banyak dari kalangan orang muslim yang belum mengerti dan paham mengenai Alquran. Maka dari itu beberapa ahli membuat suatu kesepakatan mengenai ilmu (pembahasan) yang berkaitan dengan Alquran yang dinamakan dengan Ulumul Quran.

Dari segi turunnya Alquran dan penulisan Alquran terdapat pula beberapa perbedaan pendapat para ahli.Adapun perbedaan itu dari segi pengertian Alquran, sejarah turunnya Alquran, penulisan serta rasm Alquran dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan pada bab berikutnya.

A. Pembatasam Masalah

Dalam pembuatan makalah tentang Ulumul Quran ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu mengenai Sejarah Turunnya Alquran dan Penulisan Alquran.








B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Alquran?

2. Apa hikmah dari diwahyukannya Alquran?

3. Bagaimanakah proses penulisan Alquran pada masa Nabi?

4. Bagaimanakah proses penulisan Alquran pada masa Khulafa’urasyidin?

5. Bagaimanakah proses penyempurnaan Alquran setelahnmasa khalifah?

6. Apa yang dimaksud dengan rasm Alquran?

7. Bagaimanakah pendapat beberapa ahli mengenai rasm Alquran?



C. Tujuan

Makalah Sejarah Turunnya Alquran dan Penulisan Alquran ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Alquran/ Ilmu Tafsir, serta sebagai bahan untuk mengetahui:


1. Apa yang dimaksud dengan Alquran

2. Hikmah dari diwahyukannya Alquran

3. Bagaimana proses penulisan Alquran pada masa Nabi

4. Bagaimana proses penulisan Alquran pada masa Khulafa’urasyidin

5. Bagaimana proses penyempurnaan Alquran setelahnmasa khalifah

6. Apa yang dimaksud dengan rasm Alquran

7. Bagaimana pendapat beberapa ahli mengenai rasm Alquran


Bab II

Pembahasan

A. Pengertian Al-Quran


Al-Quran secra etimologi merupakan bentuk mashdar (Verbal noun) yang diartikan sebagai isim maf’ul yaitu Maqru’ berarti “yang dibaca”. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata Quran adalah kata sifat dari Alqur’ berarti “mengumpulkan” (Al-jam’), atau Musytaq dari Alqara’in atau qarana. Sedangkan menurut terminologi Al-Quran adalah:


كلام الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم المعجم بتلاوته المنقول بالتواتر، المكتوب فى المصاحف من أول سورة الفاتحة إلى سورة الناس.


Artinya:

“Kalam Alloh yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat alfatihah dan diakhiri surat an-nas.


B. Hikmah Diwahyukannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur

Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Djulhijjah haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.


Menurut Al-Zarqani dalam manahil Al-irfan berpendapat bahwa proses turunnya Al-Quran terdiri atas tiga tahapan:




1. Al-Quran turun secara sekaligus dari Alloh Ke Lauh Al-Mahfuzh, yaitu suatu tempatb yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Alloh, Q.S. Al-buruj ayat 21-22:

بل هو فرآن مجيد. في لوح محفوظ (البروج : 21-22)


“Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh” (QS.Al-Buruj : 21-22).


2. Al-Quran diturunkan dari Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-izzah( tampat yang berada di langit dunia), sebagaimana firman Alloh dalam surat Al-Qadar ayat 1:


إن أنزلناه فى ليلة القدر (القدر : 1)




”Sesungguhnya Kami telah menurunkan-nya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”

3. Al-Quran diturunkan dari Bait Al-Izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diisyaratjkan dalam Q.S. Asy-Syuaro ayat 193-195:


نزل به الروح الأمين على قلبك لتكون من المنذري. بلسان عربي مبين (الشعراء : 192 – 195)




“Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.

Masa turunnya Al-Quran dapat dibagi ke dalam dua periode. Perode pertama disebut periode makiyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih bermukim di Mekah, yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari yaitu dari 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi. Perode kedua disebut periode Madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari, yakni dari permulaan Rabiul awal tahun 54 dari kelahiran Nabi sampai 9 Djulhijjah tahun 63 dari ke;ahiran Nabi. Hal ini menanadakan bahwa Al-Quran mempunyai hubungan dialektis dengan situasi dan tempat dimana ia diturunkan.




Turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur mempunyai hikmah dan faedah yang besar sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Furqon ayat 32.




Di samping itu masih banyak pula hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur sebagai berikut:

1. Untuk meneguhakan hati Nabi Muhammad SAW

Mengingat watak keras masyarakat yamg dihadapi Nabi, maka dengan turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur maka akan memperkuat hati Nabi.


2. Sebagai Mukjizat

Mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi dari kaum Al-Quran baik dari pertanyaan yang memojokkan turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu bahkan menantang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Quran

3. Untuk memudahkan hafalan dan pemahaman Al-Quran.


Sekiranya Al-Quran turun sekaligus tentu sulit untuk memahami dan menghafal isinya.

4. Untuk menerapkan hukum secara bertahap.

5. Sebagai bukti bahwa Al-Quaran adalah bukan rekayasa Nabi Muhammad atau manusia biasa meskipun rangkaian ayatnya turun selama 23 tahun tetapi sistematika dan kandungannya tetap konsisten.

C. Penulisan Al-Quran pada Masa Nabi

Pada masa nabi, keadatangan wahyu tidak saja di ekspresikan dalam bentuk hafalan tetapi juga dalam bentuk tulisan, nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Afan, Ali bin Abi tholib, Abban bin sa’id, Khalid bin Al-walid, dan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.

Kegiatan tulis menulis Al-Quran tadi didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim:

لا تكتبوا نى شيئا إلا القرآن ومن كتب عني سوى القرآن فليمحه.


“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya” (HR. Muslim).

Diantara dfaktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa nabi adalah


1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya

2. Mempresentasikan wahyu dengan cara paling sempurna

D. Penulisan Al-Quran pada Masa Khulafa Al-Rasyidin

Pada masa Abu Bakar As-siddiq

Pada dasarnya, seluruh Al-Quran sudah ditulis pada wqktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam suatu mushaf adalah Abu Bakar As-Siddiq.Usaha pengumpulan Al-Quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang yamamah pada tahun 12 H.

Karena khawatir kelestarian Al-Quran hilang, Zaid bin Tsabit salah seorang sekretaris Nabi yang muda dan pintar ditugaskan untuk melacak kembali al-Quran. Dalam melaksanakan tugasnya Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukungt tulisan.

Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Quran atas dasar pesan Abu Bakar:

أقعدا على باب المسجد، فمن جاء كما بشاهدين على شيء من كتاب الله فاكتباه.

“Dudulah kalian di pintu masjid. Siapa yang datang kepada kalian membawa catatan al-Qur’an degnan dua saksi, maka catatlah”.
Riwayat yang berkaitan juga dikeluarkan Ibn Abi Dawud26melalui jalan Yahya bin Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa Umar berkata:

من كان تلقى من رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا من القرآن فليأت به. وكانوا يكتبون ذلك فى الصحف والألواح والعسب. وكان لا يقبل من أحد شيئا حتى يشهد شهيدان.


Artinya:

“siapa saja pernah mendenganr beberapa saja ayat AL-Qur’an dari rasulullah, sampaikalah (kepada zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnya pada subut, papan, dan pelepah kurma. Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapa pun sebelum diperkuat dua saksi.

Di dalam menerangkan pengertian “dua saksi” riwayat ini, perlu disimak pendapat Ibn Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini, syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hapalan, atau keduanya daam bentuk tutisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua hapalan dan atau tulisan sahabat Iainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hapalan sahabat Iainnya.

Pemahaman Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda dengan apa yang ditangkap As-Sakhawi (w. 643 H.). Asy-Syakhawi memandang bahwa syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksman bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Nabi.

Pekerjaan yang dibebankan pada pundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H.
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Quran itu disimpan Khalifah Umar dan ketika Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsa, bukan oleh Utsman bin Afan.

Pada masa Utsman bin Afan

Selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Quran muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang sebagian direktut dari siria dan sebagian lain dari Irak. Perselisihan ini cukup serius sehingga Khudzaifah melaporkannya kepada khalifah Utsman (644-656) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan tersebut. Khalifah berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-Quran.Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota yaitu: Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Al-Harits.

Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal- harus dijadikan pilihan. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (absah) Al-Quran, yang sering juga disebut mushaf ‘Utsmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat- pusat utama daerah Islam.
‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a) Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
b) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Utsmani,
d) Sistem penulisa yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Quran ketika turun,
e) Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan.




Perbedaan penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan pada masa Uesman dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Pada Masa Abu Bakar
Pada Masa Utsman bin ‘Affan

1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Quran dengan syahidnya beberapa Al-Quran pada Perang Yamamah.

2. Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan- tulisanAl-Quran yang terpencar- pencar pada pelepah kurma, tulang, dan sebagainya.

1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Quran (qira’at).

2. Utsman melakukannya dengan enyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dan tujuh huruf yang dengannya Al- Quran turun.



A.    Penyempurnaan Penulisan Al-Quran setelah Masa Kholifah
Mushaf yang ditulis atas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Pada masa Khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkrmuka saat itu dan karena itru pula penyempurnaan mulai dilakukan. Dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w.67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w.95 H).
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H. Ketika proses penyempurnaan naskah Al-Quran selesai dilakukan tercatat tiga nama orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ‘Utsman, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Dauli, Yahya bin Yamar, dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits. Adapun orang-orang yang pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Al-raum, dan Al-isymam adalah Al-Khalid bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu Abdirrahman.                  
                    
B.     Rasm Al-Quran
  1. Pengertian Rasm Al-Quran
Yang dimaksud dengan rasm Al-Quran atau rasm ‘Utsmani adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Quran yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya, yang ditetapkan pada masa khalifah ‘Utsman bin Affan.
Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaiitu:
1)      Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf)
2)      Al-Jiyadah (penambahan),
3)      Al-Hamzah, salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya.
4)      Badal(penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan
5)      Washal dan Fashal( penyambungan da pemisahan
6)      Kata yang Dapat dibaca dua bunyi
  1. Pendapat para Ulama Sekitar Rasm Al-Quran
Para ulama telah berbada pendapat mengenai status rasm Al-Quran (tatacara penulisan Al-Quran):
1)      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani itu bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Quran.mereka juga memandang bahwa rasm ‘Utsmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi.
2)      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui “Utsman dan diterima umat, sehungga wajib diikuti daan ditaati siapapun yang menulis Al-Quran.
3)      Sebagian lagi dari mereka mberpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran yang nota-benenya berlainan dengan rasm “Utsmani.
Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Quran dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-Quran sesuai dengan tren tulisan pada masanya,menurutnya, perubahan tulisan Al-Quran terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki tren tulisan yang berbeda-beda.
  1. Kaitan Rasm Al-Quran dengan Qira’at
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘Utsmani yang tidak berhanakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membacaAl-Quran). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cana membacaAl-Quran walaupun setelah muncul mushaf ‘Utsmani, seperti qira’ah tujuh, qira’ah sepuluh, dan qira’ah empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami Ibn Mujahid (859—935) untuk melakukan penyeragaman cara membacaAl-Quran dengan tujuh cara saja (qira’ahsabah). Tentu bukan ía saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks i, umpamanya Malik bin Anas (w. 795), ulama besar Madinah dan pendiri madzhab Maliki. Ia dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan menurut bacaan Ibn Mas’ud adalah tidak

free7 network twitter technorati

0 comments:

Posting Komentar

Area Populer

 
Blog Indonesia